Jakarta – Perusahaan pemilik SPBU swasta seperti BP AKR dan Vivo menolak pasokan BBM impor dari Pertamina Patra Niaga karena mengandung etanol 3,5 persen. Padahal, etanol dikenal sebagai zat aditif yang umum digunakan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar. Penolakan ini pun memunculkan tanda tanya di tengah upaya kolaborasi penyediaan BBM nonsubsidi bagi pihak swasta.
Wakil Direktur Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, mengungkapkan penolakan tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025). Menurutnya, BP AKR dan Vivo awalnya bersedia melakukan pembelian, namun keputusan itu batal menjelang finalisasi kesepakatan.
“Awalnya, dua SPBU swasta berkenan membeli BBM base fuels sampai Jumat kemarin, yaitu BP AKR dan Vivo. Tapi, kemudian, Vivo membatalkan, tidak melanjutkan. BP-AKR akhirnya tidak juga,” kata Achmad di hadapan anggota dewan.
Pembatalan ini berkaitan dengan kandungan etanol dalam BBM hasil impor tersebut yang mencapai 3,5 persen. Meski masih di bawah ambang batas maksimal penggunaan etanol dalam bahan bakar (20 persen), kedua perusahaan enggan menggunakannya.
Penjelasan teknis datang dari pakar energi Institut Teknologi Bandung, Tri Yuswidjajanto Zaenuri. Ia mengatakan bahwa etanol, sebagai octane booster, memang berfungsi meningkatkan RON sebuah bahan bakar. Namun, kehadiran etanol juga membawa konsekuensi teknis terhadap mesin.
“Etanol bisa menyebabkan mesin cepat panas kalau kendaraan tidak mendukung pengaturan air fuel ratio secara otomatis,” ujar Tri, Kamis (2/10/2025). Selain itu, kendaraan lawas yang menggunakan material seperti karet alam dan tangki besi berisiko mengalami kerusakan akibat etanol, meski dalam konsentrasi di bawah 5 persen.
Ia menambahkan, teknologi mesin kendaraan di Indonesia sangat beragam. Tidak ada pembatasan usia kendaraan membuat keberadaan mobil-mobil dengan sistem lama masih dominan. Kondisi ini membuat BBM dengan etanol harus hati-hati digunakan.
“Di Indonesia itu ada teknologi mesin tua dan baru semua. Komponennya rawan terhadap etanol,” imbuhnya.
Senada, pengamat otomotif Bebin Djuana menekankan bahwa penggunaan etanol memang sah-sah saja dalam formula BBM, tapi bisa menimbulkan komplikasi saat dicampur dengan racikan dari pihak swasta. Ia menyebut wajar jika SPBU swasta menolak karena tak ingin mengambil risiko pada kualitas dan reputasi produk mereka.
“BBM yang dijual swasta pasti punya racikan sendiri. Kalau terjadi masalah pas dicampur, bisa berdampak ke kepercayaan konsumen,” kata Bebin. “Lebih baik menghindar daripada bermain-main dengan kualitas.”
Achmad dari Pertamina memastikan bahwa perusahaan plat merah tidak menutup peluang bagi kelanjutan kerja sama. Menurutnya, pasokan berikutnya bisa disesuaikan dengan spesifikasi yang dibutuhkan dan melalui negosiasi ulang bersama pihak swasta.
Kelangkaan BBM nonsubsidi, terutama dengan RON tinggi, sudah terjadi sejak Agustus. Pemerintah sempat memfasilitasi kerja sama pengadaan 1,2 juta barel BBM RON 92 dan 270 ribu barel BBM RON 98 dari impor khusus untuk peritel non-PSO (public service obligation), namun hambatan teknis seperti penolakan kandungan etanol membuat proses distribusi belum berjalan sesuai rencana.