Jakarta – Sektor pertanian masih jadi tulang punggung tenaga kerja Indonesia, tapi kesejahteraan para pelaku utamanya masih jauh dari kata layak. Data terbaru mencatat, pertanian tetap identik dengan kemiskinan, lambannya regenerasi, dan terus menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke bidang ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025 mencatat, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian luas—yang mencakup tanaman pangan, peternakan, perikanan, perkebunan, hingga kehutanan—mencapai 41,61 juta orang. Jumlah ini setara dengan 28,54 persen dari total tenaga kerja nasional, menjadikannya sektor dengan kontribusi tenaga kerja terbesar di Indonesia.
Namun, dominasi jumlah itu tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan. Petani di Indonesia masih bergulat dengan sistem pertanian subsisten, alih fungsi lahan, keterbatasan modal, akses pasar yang terbatas, hingga minimnya dukungan infrastruktur.
Salah satu potret nyata dari ketimpangan sektor ini terlihat dari upah. Rata-rata pendapatan petani saat ini hanya sebesar Rp 2,25 juta per bulan. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional upah pekerja atau buruh yang berada di kisaran Rp 3,09 juta per bulan.
Gambaran itu mempertegas tantangan berat di sektor agraris Indonesia, terutama tanaman pangan. Minimnya insentif ekonomi yang diterima petani membuat regenerasi di sektor ini berjalan sangat lambat. Banyak anak muda memilih menjauh, meninggalkan sawah dan ladang untuk mencari peluang di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Kondisi ini menjadi alarm bagi semua pihak. Tanpa upaya konkret memperbaiki hulu hingga hilir pertanian, Indonesia bisa menghadapi krisis ketahanan pangan dalam jangka panjang. Perbaikan kesejahteraan petani, akses pendanaan, distribusi hasil panen, hingga perlindungan lahan pertanian menjadi sejumlah langkah strategis yang perlu dipercepat.
Selama sektor pertanian tetap dibiarkan berjalan dengan sistem lama dan tanpa transformasi yang berarti, stigma “petani identik dengan kemiskinan” akan terus melekat dan sulit dihapus.